Trichoderma sp. merupakan sejenis cendawan / fungi yang termasuk kelas ascomycetes. Trichoderma sp. memiliki aktivitas antifungal. Di alam, Trichoderma banyak ditemukan di tanah hutan maupun tanah pertanian atau pada substrat berkayu[1].
Melalui uji biokimia diketahui bahwa dibandingkan sukrosa, glukosa merupakan sumber karbon utama bagi Trichoderma, sedangkan pada beberapa spesies sumber nitrogennya berasal dari ekstrak khamir dan tripton.[3]
Konidia secara umum kering, namun pada beberapa spesies dapat berwujud cairan yang berwarna hijau bening atau kuning.[1] Bentuknya secara umun adalah elips, jarang ditemukan bentuk globosa.[1] Secara umum konidia bertekstur halus.[1]
Pada Trichoderma juga ditemukan struktur klamidospora. Klamidospora ini diproduksi oleh semua spesies Trichoderma. Bentuknya secara umum subglobosa uniseluler dan berhifa, pada beberapa spesies, klamidosporanya berbentuk multiseluler.[1] Kemampuan Trichoderma dalam memproduksi klamidospora merupakan aspek penting dalam proses sporulasi.[1]
Kemampuan dan mekanisme Trichoderma dalam menghambat pertumbuhan patogen secara rinci bervariasi pada setiap spesiesnya.[5] Perbedaan kemampuan ini disebabkan oleh faktor ekologi yang membuat produksi bahan metabolit yang bervariasi pula.
Trichoderma memproduksi metabolit yang bersifat volatil dan non volatil.[4] Metabolit non volatil lebih efektif dibandingkan dengan yang volatil.[4] Metabolit yang dihasilkan Trichoderma dapat berdifusi melalui membran dialisis yang kemudian dapat menghambat pertumbuhan beberapa patogen.[4] Salah satu contoh metabolit tersebut adalah monooksigenase yang muncul saat adanya kontak antar jenis Trichoderma, dan semakin optimal pada pH 4.[4] Ketiadaan metabolit ini tidak akan mengubah morfologi dari Trichoderma namun hanya akan menurunkan kemampuan penghambatan patogen.[4]
Trichoderma harzianum memproduksi metabolit seperti asam sitrat, etanol, dan berbagai enzim seperti urease, selulase, glukanase, dan kitinase.[2] Hasil metabolit ini dipengaruhi kandungan nutrisi yang terdapat dalam media.[2] T. harzianum dapat memproduksi beberapa pigmen yang bervariasi pada media tertentu seperti pigmen ungu yang dihasilkan pada media yang mengandung amonium oksalat, dan pigmen jingga yang dihasilkan pada media yang mengandung gelatin atau glukosa, serta pigmen merah pada medium cair yang mengandung glisin dan urea.[2]
Saat berada pada kondisi yang kaya akan kitin, Trichoderma harzianum memproduksi protein kitinolitik dan enzim kitinase.[2] Enzim ini berguna untuk meningkatkan efisiensi aktivitas biokontrol terhadap patogen yang mengandung kitin.[2]
Harga Jual :
/sak (karung @20 kg) harga : Rp 180 ribu diluar Ongkos Kirim.
Kondisi optimum
Suhu optimum untuk tumbuhnya Trichoderma berbeda-beda setiap spesiesnya.[2] Ada beberapa spesies yang dapat tumbuh pada temperatur rendah ada pula yang tumbuh pada temperatur cukup tinggi,kisarannya sekitar 7 °C – 41 °C.[2] Trichoderma yang dikultur dapat bertumbuh cepat pada suhu 25-30 °C, namun pada suhu 35 °C cendawan ini tidak dapat tumbuh.[3] Perbedaan suhu memengaruhi produksi beberapa enzim seperti karboksimetilselulase dan xilanase.[3]
Kemampuan merespon kondisi pH dan kandungan CO2 juga bervariasi.[2] Namun secara umum apabila kandungan CO2 meningkat maka kondisi pH untuk pertumbuhan akan bergeser menjadi semakin basa.[2] Di udara, pH optimum bagi Trichoderma berkisar antara 3-7.[2] Faktor lain yang memengaruhi pertumbuhan Trichoderma adalah kelembaban, sedangkan kandungan garam tidak terlalu memengaruhi Trichoderma.[2] Penambahan HCO3- dapat menghambat mekanisme kerja Trichoderma[2].Melalui uji biokimia diketahui bahwa dibandingkan sukrosa, glukosa merupakan sumber karbon utama bagi Trichoderma, sedangkan pada beberapa spesies sumber nitrogennya berasal dari ekstrak khamir dan tripton.[3]
Karakteristik
Pada Trichoderma yang dikultur, Morfologi koloninya bergantung pada media tempat bertumbuh.[1] Pada media yang nutrisinya terbatas, koloni tampak transparan, sedangkan pada media yang nutrisinya lebih banyak, koloni dapat terlihat lebih putih.[1] Konidia dapat terbentuk dalam satu minggu, warnanya dapat kuning, hijau atau putih.[1] Pada beberapa spesies dapat diproduksi semacam bau seperti permen atau kacang.[1]Reproduksi
Reproduksi aseksual Trichoderma menggunakan konidia.[1] Konidia terdapat pada struktur konidiofor.[1] Konidiofor ini memiliki banyak cabang.[1] Cabang utama akan membentuk cabang.[1] Ada yang berpasangan ada yang tidak.[1] Cabang tersebut kemudian akan bercabang lagi, pada ujung cabang terdapat fialid.[1] Fialid dapat berbentuk silindris, lebarnya dapat sama dengan batang utama ataupun lebih kecil.[1] Fialid dapat terletak pada ujung cabang konidiofor ataupun pada cabang utama.[1]Konidia secara umum kering, namun pada beberapa spesies dapat berwujud cairan yang berwarna hijau bening atau kuning.[1] Bentuknya secara umun adalah elips, jarang ditemukan bentuk globosa.[1] Secara umum konidia bertekstur halus.[1]
Pada Trichoderma juga ditemukan struktur klamidospora. Klamidospora ini diproduksi oleh semua spesies Trichoderma. Bentuknya secara umum subglobosa uniseluler dan berhifa, pada beberapa spesies, klamidosporanya berbentuk multiseluler.[1] Kemampuan Trichoderma dalam memproduksi klamidospora merupakan aspek penting dalam proses sporulasi.[1]
Mekanisme antifungal
Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa Trichoderma merupakan salah satu jamur yang dapat menjadi agen biokontrol karena bersifat antagonis bagi jamur lainnya, terutama yang bersifat patogen.[4] Aktivitas antagonis yang dimaksud dapat meliputi persaingan, parasitisme, predasi, atau pembentukkan toksin seperti antibiotik.[4] Untuk keperluan bioteknologi, agen biokontrol ini dapat diisolasi dari Trichoderma dan digunakan untuk menangani masalah kerusakan tanaman akibat patogen.[4]Kemampuan dan mekanisme Trichoderma dalam menghambat pertumbuhan patogen secara rinci bervariasi pada setiap spesiesnya.[5] Perbedaan kemampuan ini disebabkan oleh faktor ekologi yang membuat produksi bahan metabolit yang bervariasi pula.
Trichoderma memproduksi metabolit yang bersifat volatil dan non volatil.[4] Metabolit non volatil lebih efektif dibandingkan dengan yang volatil.[4] Metabolit yang dihasilkan Trichoderma dapat berdifusi melalui membran dialisis yang kemudian dapat menghambat pertumbuhan beberapa patogen.[4] Salah satu contoh metabolit tersebut adalah monooksigenase yang muncul saat adanya kontak antar jenis Trichoderma, dan semakin optimal pada pH 4.[4] Ketiadaan metabolit ini tidak akan mengubah morfologi dari Trichoderma namun hanya akan menurunkan kemampuan penghambatan patogen.[4]
Trichoderma harzianum
Trichoderma harzianum merupakan salah satu contoh yang paling banyak dipelajari karena memiliki aktivitas antifungal yang tinggi.[5] T. harzianum dapat memproduksi enzim litik dan antibiotik antifungal.[2] Selain itu T. harzianum juga dapat berkompetisi dengan patogen dan dapat membantu pertumbuhan tanaman.[2] T. harzianum memiliki kisaran penghambatan yang luas karena dapat menghambat berbagai jenis fungi.[2]Trichoderma harzianum memproduksi metabolit seperti asam sitrat, etanol, dan berbagai enzim seperti urease, selulase, glukanase, dan kitinase.[2] Hasil metabolit ini dipengaruhi kandungan nutrisi yang terdapat dalam media.[2] T. harzianum dapat memproduksi beberapa pigmen yang bervariasi pada media tertentu seperti pigmen ungu yang dihasilkan pada media yang mengandung amonium oksalat, dan pigmen jingga yang dihasilkan pada media yang mengandung gelatin atau glukosa, serta pigmen merah pada medium cair yang mengandung glisin dan urea.[2]
Saat berada pada kondisi yang kaya akan kitin, Trichoderma harzianum memproduksi protein kitinolitik dan enzim kitinase.[2] Enzim ini berguna untuk meningkatkan efisiensi aktivitas biokontrol terhadap patogen yang mengandung kitin.[2]
Harga Jual :
/sak (karung @20 kg) harga : Rp 180 ribu diluar Ongkos Kirim.